Memburu Bumi Baru
Jum'at, 08 Desember 2006 20:19 WIB
TEMPO Interaktif, LONDON: Di atas kursi roda yang setia menemaninya selama 43 tahun, dengan suara yang keluar dari synthesizer yang terkomputerisasi, fisikawan terkemuka Inggris, Stephen Hawking, memperingatkan kemungkinan terjadinya bencana jika manusia tidak segera mencari koloni baru ke planet lain. Ahli kosmologi yang baru saja menerima Copley Medal, anugerah ilmuwan tertinggi dari Royal Society, awal pekan ini mengusulkan realisasi cerita fiksi Star Trek. "Cepat atau lambat peradaban manusia di bumi akan musnah dihantam asteroid atau perang nuklir," ujar profesor 64 tahun yang lumpuh sejak berusia 21 tahun akibat penyakit otot itu, yang mengharuskannya menggunakan kursi roda. Misi menemukan planet baru mirip bumi yang dilontarkan Hawking sebenarnya bukan hal baru. Badan antariksa berbagai negara maju, seperti NASA dan ESA, sudah berlomba merintis jalan ke arah sana. Nah, dalam beberapa pekan mendatang, mimpi itu akan melangkah ke jenjang berikutnya ketika Corot diluncurkan. Corot, yang berasal dari singkatan Convection, Rotation, and Planetary Transit (wahana pemantau transit planet, rotasi, dan transfer panas) akan menjadi wahana pertama yang mampu mendeteksi planet baru yang beberapa kali lebih besar daripada bumi, yang mengorbit bintang lain. Misi yang dipimpin Badan Antariksa Prancis, Cnes, itu juga akan mengungkapkan informasi bintang-bintang tetangga matahari serta menentukan massa, usia, dan komposisi kimianya. Misi itu rencananya akan diluncurkan pada 26 atau 27 Desember nanti. Satelit dengan berat 650 kilogram itu akan diluncurkan menumpang Soyuz-2-1b dari Baikonur Cosmodrome, Kazakhstan, menuju orbit kutub 827 kilometer di atas bumi. Corot juga membawa sebuah teleskop 27 sentimeter dan kamera dengan empat sensor charge-coupled-device, yang amat sensitif terhadap perubahan kecemerlangan bintang sekecil apa pun. "Misi ini membawa dua tujuan ilmiah utama," kata Profesor Ian Roxburgh, ilmuwan dari Badan Antariksa Eropa, ESA, yang berbasis di Queen Mary, University of London, di London, Inggris. ESA adalah salah satu partner dalam proyek Corot bersama Austria, Spanyol, Jerman, Belgia, dan Brasil. Menemukan planet baru seperti keinginan Hawking adalah target utama Corot. Tugasnya memantau 60 ribu bintang untuk menemukan planet-planet yang mengorbit bintang itu. Wahana antariksa itu akan mendeteksi planet tersebut ketika transit di seberang bintang. Ketika sebuah planet berada di antara bumi dan bintang, dia akan melintas di depan bintang dan menghalangi sebagian cahayanya. Posisi ini yang disebut transit. "Pada saat itu kami bisa mengukur cahaya bintang itu dan mencari penurunan kecemerlangannya untuk mendeteksi apakah ada planet di orbitnya," kata Roxburgh. Selama lebih dari dua setengah tahun, satelit itu akan difokuskan pada lima sampai enam lokasi berbeda di langit. Masing-masing selama durasi 150 hari. Setiap 512 detik, Corot akan mengukur tingkat kecemerlangan 10 ribu bintang yang tertangkap kameranya. Kecanggihan teknologi kamera ini sama dengan kamera digital sehari-hari yang memungkinkan deteksi perubahan intensitas cahaya tiap menit. Dengan mengukur kontras kecemerlangan bintang ini, para ilmuwan bisa mendeteksi berbagai jenis planet, dari planet gas raksasa sampai planet batu yang kecil. Justru planet-planet kecil inilah yang paling diminati tim ESA. Berbeda dengan planet besar yang bisa dilihat dari bumi dengan menggunakan berbagai teknik, planet berukuran sebesar bumi tidak bisa terpantau. Corot akan menjadi wahana pertama yang sanggup menemukannya. "Corot adalah pionir eksplorasi planet," kata Roxburgh. "Dia akan membantu kita mengetahui jenis bintang yang memiliki planet dan semua informasi yang diperlukan generasi mendatang dalam misi pencarian planet yang bisa dihuni." Tim Corot berharap misi ini bisa menemukan 10-40 planet kecil dan puluhan planet gas di setiap medan bintang yang diobservasi. "Kami akan menemukan planet dua kali besar bumi," ujar Roxburgh. Misi lain Corot adalah mengenali bintang lebih dalam lagi. Lewat observasi perubahan cahaya yang nyaris tidak kentara sebagai riak gelombang suara, tim ini bisa menggali informasi interior tubuh bintang serta menentukan massa, usia, dan komposisi kimianya. Teknologi yang dipakai untuk observasi itu disebut asteroseismologi, mirip dengan seismologi dalam mengukur getaran gempa. Misi Corot ini akan dilanjutkan dengan program Darwin, yang akan diluncurkan ESA pada paruh kedua abad ini. Program Darwin Flotilla, sebuah armada yang terdiri dari empat atau lima wahana antariksa, juga akan memburu planet mirip bumi di sekeliling bintang tetangga dan menganalisis atmosfernya untuk mengkaji kemungkinan adanya kehidupan ekstraterrestrial. Langkah ESA ini juga akan diikuti Badan Antariksa Amerika Serikat, NASA, yang berencana meluncurkan misi Terrestrial Planet Finder. Misi itu juga berusaha mencari lokasi dunia baru yang mirip bumi, seperti yang dicita-citakan Hawking.
www.pksplus.com
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar