Bulog, Racun Berbalut Madu
WIDJANARKO Puspoyo yang amat kalem, dan belum pernah tersangkut perkara dalam kiprah kehidupannya, sekarang ditahan dan terancam masuk bui. Lembaga yang melemparnya ke tahanan bernama Badan Urusan Logistik.
Tidak cuma Widjanarko. Paling tidak dari delapan Kepala Bulog, lima masuk bui, termasuk Widjan yang kini ditahan. Mereka adalah Rahardi Ramelan, Sapuan, Bedu Amang, dan Bustanil Arifin. Kesalahan mereka sama, menggunakan uang Bulog tanpa kontrol. Sebagian karena nafsu manipulasi, sebagian lagi karena tergoda atau tidak bisa menolak pengaruh kepentingan elite eksternal, baik lembaga pemerintah maupun perorangan.
Dalam catatan kita, cuma tiga orang pemimpin Bulog yang tidak masuk bui. Mereka Rizal Ramli, Achmad Tirtosudiro, dan Jusuf Kalla yang kini menjadi wakil presiden. Kalla berkelakar bahwa dia lolos karena hanya enam bulan menjadi orang nomor satu di Bulog sebab telanjur dipecat Gus Dur, presiden waktu itu. Kalau berlama-lama memimpin Bulog, cerita Kalla mungkin lain.
Kelakar Kalla sesungguhnya menyimpan persoalan serius di tubuh Bulog. Mengapa orang-orang yang sebelum memimpin Bulog tidak mencuat keberanian mencuri, tetapi penyakit itu muncul begitu mudah ketika mereka berada di lembaga yang mengurus pangan untuk rakyat itu?
Jawabannya bisa dua. Pertama, elite Indonesia sudah telanjur rusak sehingga memimpin apa saja pasti korup. Tetapi kedua, bisa jadi Bulog menjadi lembaga yang tidak memiliki aturan serius. Di sana mungkin saja uang begitu banyak, begitu gampang masuk, dan begitu gampang juga keluar.
Alasan kedua ini rupanya lebih masuk akal. Ketika Widjanarko menjadi tersangka dan baru semalam ditahan, banyak orang terutama dari kalangan partai politik berebut kesempatan menempatkan orangnya di lembaga itu. Baru semalam disel, Kepala Bulog yang baru sudah ditunjuk rapat pemegang saham. Semua pihak bergerak cepat bak halilintar.
Bulog dalam riwayatnya, memang, dijadikan ladang rezeki oleh penguasa. Dengan tugas menjaga keterjangkauan dan ketersediaan pangan, badan itu diguyur uang tanpa batas. Setiap kali terjadi kekurangan beras, entah sungguh-sungguh entah rekayasa, uang mengalir deras ke Bulog. Setiap kali harga beras dan kebutuhan pokok melambung, entah sungguh-sungguh entah rekayasa, dana mengucur ke Bulog atas nama stabilisasi harga.
Apa yang kurang diperhatikan? Pengawasan dan audit. Jadi kekurangan yang amat menonjol di Bulog adalah apa yang disebut dengan good corporate governance. Badan itu, setelah berubah menjadi perum, tidak memiliki perubahan tata kelola memadai.
Mungkin saja ini disebabkan kenikmatan yang tidak boleh hilang sehingga tata kelola yang benar dan terukur tidak perlu ada. Mungkin juga pengaruh eksternal yang begitu kuat menyebabkan Bulog tidak kuasa mengubah tata kelola. Misalnya audit berkala baik secara internal maupun oleh BPK.
Yang harus juga diakui, Bulog dalam riwayatnya, terutama di era Orde Baru, adalah kasir yang membiayai kepentingan politik penguasa. Sebagai contoh, dua dari Kepala Bulog yang masuk bui berkaitan dengan kepentingan keluarga Cendana. Dua pejabat yang lain berurusan dengan bui karena menggunakan uang Bulog untuk kepentingan politik. Satu di era Gus Dur, satu di era Habibie.
Bulog seperti racun berbalut madu. Mata melihat ada racun, tetapi lidah tergoda karena madu. Karena itu, bangunlah Bulog dengan aturan yang tegas, transparan, dan terukur sehingga tidak menjadi arena persekongkolan elite. Bulog harus membangun pagar yang kukuh untuk mencegah perusak tanaman. Celakanya, Bulog selama ini dilindungi pagar yang asyik makan tanaman.
PKS Story
![]() |
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar