Menimbang Untung-Rugi Perubahan UUD 1945

Diposting oleh Cheria Holiday on Sabtu, 24 Februari 2007

Fraksi-PKS Online: Pada era Orde Baru, perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) hanya dikenal dalam teks UUD 1945 sendiri, karena adanya tekad untuk tetap mempertahankannya tanpa perubahan. Bahkan, tekad tersebut dituangkan dalam peraturan perundang-undangan, yang mensyaratkan referendum bagi perubahan UUD 1945.

Pengantar
Pada era Orde Baru, perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) hanya dikenal dalam teks UUD 1945 sendiri, karena adanya tekad untuk tetap mempertahankannya tanpa perubahan. Bahkan, tekad tersebut dituangkan dalam peraturan perundang-undangan, yang mensyaratkan referendum bagi perubahan UUD 1945. Sekedar menyegarkan ingatan, di masa lalu ada UU Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum. Konsideran UU ini menyatakan, antara lain: bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan terhadapnya, sebagaimana dinyatakan dalam Ketetapan MPR Republik Indonesia Nomor I/MPR/1983 tentang Peraturan Tata Tertib MPR, dan Ketetapan MPR Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum, namun untuk melaksanakan Pasal 3 Ketetapan MPR Republik Indonesia Nomor IV/ MPR/1983 tentang Referendum, perlu dibentuk Undang-undang yang mengatur referendum. Dalam UU ini dinyatakan, referendum adalah kegiatan untuk meminta pendapat rakyat secara langsung mengenai setuju atau tidak setuju terhadap kehendak MPR untuk mengubah UUD 1945. Referendum diadakan apabila MPR berkehendak untuk mengubah UUD 1945 sebagaimana dimaksud dalam Ketetapan MPR Nomor IV/ MPR/1983. Ketentuan demikian jelas membatasi kewenangan MPR yang telah diberikan oleh UUD 1945 sendiri, dan menyalahi ketentuan dalam UUD 1945 sendiri.

Pasca Orde Baru, UUD 1945 telah empat kali diubah (1999, 2000, 2001, 2002). Empat kali perubahan tersebut dapat dilihat sebagai satu paket perubahan, yang dilakukan oleh MPR hasil Pemilu 1999 - Pemilu pertama pasca Orde Baru. Kini, wacana perubahan UUD 1945 kembali mengemuka. Salah satu pemicunya adalah adanya usulan perubahan UUD 1945 yang disampaikan oleh Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD) kepada Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR), dengan surat Nomor DPD/HM.310/295/2006 Perihal Perubahan UUD 1945 tanggal 8 Juni 2006.

Perubahan UUD 1945: Dapatkah?
Sebagaimana disinggung di atas, pemerintah Orde Baru pernah melakukan (semacam) sakralisasi terhadap UUD 1945. UUD 1945, betapapun merupakan karya dan warisan the founding fathers, tetaplah karya manusia, yang tidak mungkin sempurna. Dalam perspektif agama, sakralisasi terhadapnya adalah pemberhalaan, dan itu adalah bentuk kemusyrikan.
Pasal 37 UUD 1945 naskah asli berbunyi:

(1) Untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir.
(2) Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota yang hadir.

Adanya ketentuan tentang perubahan UUD 1945 ini menunjukkan bahwa the founding fathers yang menyusun UUD 1945 sadar betul akan batas-batas kemampuan manusia, yang tidak mungkin menghasilkan karya yang sempurna. Bahwa kemudian terjadi sakralisasi terhadap UUD 1945, itu adalah rekayasa penguasa Orde Baru, tentu dengan tujuan tertentu (yang pasti: ketentuan UUD 1945 yang dipuji-puji sebagai singkat dan supel itu lebih memberikan peluang kepada penguasa untuk menafsirkannya sesuai dengan selera kekuasaannya!).

Pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2002, Pasal 37 UUD 1945 diubah sehingga berbunyi:

(1) Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
(3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(5) Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.

Adanya ketentuan tentang perubahan UUD 1945 ini juga menunjukkan bahwa MPR periode 1999-2004 yang empat kali melakukan perubahan terhadap UUD 1945 juga menyadari keterbatasan kemampuannya, dan kemungkinan perubahan keadaan yang perlu diantisipasi dengan perubahan UUD 1945. Kendati UUD 1945 dapat diubah, persoalan berikutnya yang perlu dipikirkan secara mendalam adalah: apakah perubahan tersebut perlu dan mendesak?

Perubahan UUD 1945: Perlukah?
Di dunia ini tidak ada yang tetap. Kalaupun ada yang hendak disebut tetap, maka yang tetap itu hanyalah perubahan. Manusia senantiasa berada dalam pencarian, untuk mencapai keadaan yang lebih baik dan lebih sempurna. Bangunan ketatanegaraan yang lebih baik dan lebih sempurna itu pulalah yang hendak dicapai oleh MPR periode 1999-2004 ketika melakukan perubahan UUD 1945. Perubahan yang dilandasi oleh keinginan untuk mewujudkan perbaikan tersebut, ternyata masih menimbulkan sejumlah masalah dalam praktek ketatanegaraan, yang - mungkin - belum sempat terpikirkan pada saat rumusan perubahan disepakati.
Ketentuan dalam Bab IX UUD 1945 tentang Kekuasaan Kehakiman dapat diangkat sebagai contoh. Dalam bab ini diatur Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. "Sengketa" antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial yang kemudian diputus oleh Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 005/PUU-IV/2006, menyadarkan kita bahwa ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 yang dalam hal-hal tertentu belum jelas dapat memunculkan sejumlah masalah.

Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menyatakan:
Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Ketentuan ini menimbulkan masalah, karena tidak cukup jelas apa yang dimaksud dengan "wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim." Masalah semakin jelas, jika wewenang lain tersebut diartikan sebagai pengawasan, karena dalam peraturan perundang-undangan ada lembaga lain (selain Komisi Yudisial) yang diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan. Di samping itu, diperlukan pedoman "dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim", sementara UUD 1945 sendiri tidak secara tegas menyebutkan pedoman tersebut - apakah peraturan perundang-undangan, apakah kode etik, ataukah kedua-duanya - dan siapa yang menetapkan pedoman tersebut.

Masalah lainnya adalah siapa yang dimaksud "hakim" dalam "wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim." Menurut Mahkamah Konstitusi, Hakim Konstitusi berada di luar jangkauan kewenangan pengawasan Komisi Yudisial. Ini berbeda dengan Hakim Agung dan hakim di lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung, yang berada dalam jangkauan kewenangan pengawasan Komisi Yudisial. Mahkamah Konstitusi beralasan, dilihat dari sistematika dan original intent-nya, ketentuan tentang Komisi Yudisial dalam Pasal 24B UUD 1945 tidak berkaitan dengan ketentuan mengenai Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Di samping itu, menjadikan perilaku Hakim Konstitusi sebagai objek pengawasan oleh Komisi Yudisial akan mengganggu kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, karena berpotensi menjadikan Mahkamah Konstitusi dianggap tidak imparsial, khususnya jika salah satu pihak yang bersengketa adalah Komisi Yudisial.

Akan tetapi, dalam wacana, kekuatan alasan yang menguatkan pendirian Mahkamah Konstitusi tersebut sekuat alasan yang melemahkannya. Bukankah pengaturan tentang Mahkamah Konstitusi juga ditempatkan dalam Bab Kekuasaan Kehakiman (Bab IX UUD 1945), sama dengan pengaturan tentang Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial? Bukankah Hakim Konstitusi - sebagaimana Hakim Agung dan hakim - juga menerima, memeriksa, mengadili dan memutus perkara? Jika pengawasan terhadap Hakim Konstitusi cukup dilakukan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (Pasal 23 UU No. 24 Tahun 2003) sebagaimana didalilkan oleh Mahkamah Konstitusi, bukankah di Mahkamah Agung juga sudah ada Majelis Kehormatan Mahkamah Agung (Pasal 12 UU No. 5 Tahun 2004), dan bukankah di lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung sudah ada Majelis Kehormatan Hakim? Bukankah pengawasan internal berpotensi untuk terkendala oleh "solidaritas korp" - dan ini yang menjadi latar pemikiran tentang perlunya membentuk Komisi Yudisial?

Contoh lain tentang ketentuan dalam UUD 1945 yang dalam prakteknya sempat memunculkan masalah adalah ketentuan tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan:
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 ini tanpa pembatasan. Artinya, Mahkamah Konstitusi dapat menguji semua undang-undang, termasuk UU tentang Mahkamah Konstitusi sendiri. Mahkamah Konstitusi telah melakukan pengujian atas UU Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap UUD 1945. Secara yuridis konstitusional, oleh karena UUD 1945 tidak membatasi kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian UU terhadap UUD 1945, maka Mahkamah Konstitusi dalam menguji semua UU. Akan tetapi, secara etik, dapat dipertanyakan kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji UU yang merupakan ibu kandungnya sendiri - dan UU tersebut adalah produk DPR dan Pemerintah yang oleh UUD 1945 diberi kewenangan untuk membentuk UU.

Uraian di atas menunjukkan bahwa dalam UUD 1945 ada kekurangan yang perlu dibenahi dan disempurnakan, demi perbaikan dan penyempurnaan bangunan ketatanegaraan kita. Itu baru dengan melihat satu bab, bab Kekuasaan Kehakiman. Belum lagi melihat bab-bab lainnya. Singkat cerita, dalam UUD 1945 memang ada ketentuan-ketentuan yang memerlukan perubahan.

Perubahan UUD 1945: Mendesakkah?
Sejak berakhirnya kekuasaan Orde Baru, banyak perubahan ketatanegaraan yang telah dilakukan, termasuk perubahan UUD 1945. jika kita dihadapkan pada pertanyaan: apakah sekian banyak perubahan yang telah kita lakukan sejak tahun 1998 sudah mampu membawa perbaikan dalam kehidupan bangsa dan negara? Rasa-rasanya secara jujur kita harus mengakui bahwa keadaan kita sebagai bangsa dan negara baik dari aspek sosial, politik maupun ekonimi belum membaik secara signifikan. Oleh karena itu, tidak berlebihan manakala apa yang oleh "elit" diintrodusir sebagai "reformasi", oleh kalangan "alit" diplesetkan menjadi "repot nasi."
Dalam melakukan perencanaan kegiatan apapun, termasuk perubahan UUD 1945, kita perlu mempertimbangkan secara matang manfaat-mudharat-nya, maslahat-mafsadat-nya. Melakukan kegiatan yang lebih besar manfaat-nya daripada mudharat-nya, lebih banyak maslahat-nya ketimbang mafsadat-nya. Dan sebaliknya, menghindari kegiatan yang lebih besar mudharat-nya daripada manfaat-nya, lebih banyak mafsadat-nya ketimbang maslahat-nya.

Sekalipun, sebagaimana diuraikan di atas, dalam UUD 1945 dirasakan ada beberapa kekurangan, ada banyak hal yang perlu dijadikan bahan pertimbangan sebelum memutuskan perlunya melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Pertimbangan untung-rugi, manfaat-mudharat, maslahat-mafsadat dalam teori hukum memiliki landasan. Ada utilitarianisme-nya Jeremy Bentham, yang menyatakan hukum harus berorientasi pada the greatest happiness for the greatest number. Dalam teori hukum Islam, ada teorinya Abu Ishaq as-Syathiby yang menekankan pertimbangan kemaslahatan bagi suatu produk hukum. Bahkan ada kaidah yang menyatakan bahwa "kepentingan umum" harus diutamakan daripada "kepentingan khusus" (al-mashlahatul ‘ammah muqaddamatun ‘ala al-mashlahatil khashshah), dan kebijakan pemerintah sebagai pengemban amanah harus selalu berorientasi kepada kemaslahatan umum (tasharruf al-imam ‘ala al-ra'iyyah manuth bil mashlahah).

Terlepas dari perlunya penyempurnaan UUD 1945, dihadapkan dengan sekian banyak persoalan bangsa dan negara lainnya, rasa-rasanya perubahan UUD 1945 tidak cukup mendesak untuk dilakukan dalam waktu dekat. Ada sekian banyak persoalan bangsa dan negara lainnya yang lebih mendesak untuk disikapi dan diatasi. Mendahulukan melakukan perubahan UUD 1945 dibanding persoalan-persoalan lain yang langsung bersentuhan dengan nasib umat, hanya akan membuat citra wakil rakyat kian terpuruk - sebagai gemar memperjuangkan fasilitas, tunjangan, dan kekuasaannya sendiri, serta dan tidak/kurang tanggap terhadap penderitaan rakyat yang sedang dilanda banyak musibah. Na'udzubillah!

Mengikapi usulan DPD, kita juga dituntut untuk cermat dalam mempertimbangkan kemaslahatannya bagi umat, bagi bangsa, dan bagi negara. DPD adalah lembaga negara yang dilahirkan oleh perubahan UUD 1945. Wacana yang berkembang dalam pembahasan perubahan UUD 1945 saat itu adalah bahwa anggota DPR berasal dari partai politik, sedangkan anggota DPD tidak berasal dari partai politik; DPR mewakili orang (rakyat), sedangkan DPD mewakili daerah (secara bercanda, ketika itu, dikatakan bahwa DPD "mewakili gunung, sungai, pohon dan batu"). Kita tidak boleh secara apriori menyatakan DPD tidak mewakili rakyat - dan karenanya DPD tidak akan memperjuangkan kepentingan rakyat. Bukankah anggota DPD terpilih berkat dukungan orang? Sebaliknya, kita tidak boleh secara apriori menyatakan DPR tidak mewakili daerah - dan karenanya DPR tidak akan memperjuangkan kepentingan daerah. Bukankah anggota DPR juga memiliki (atau berasal dari) daerah pemilihan tertentu? Tak ada logika yang membenarkan anggota DPD mengabaikan "aspirasi rakyat", sebagaimana tak ada logika yang membenarkan anggota DPR mengabaikan "aspirasi daerah".

Usulan DPD
Untuk mengefektifkan posisi DPD dalam memperjuangkan kepentingan daerah, serta dalam rangka meningkatkan peran DPD dalam sistem ketatanegaraan khususnya dalam mengembangkan sistem checks and balances, DPD mengusulkan perubahan Pasal 22D UUD 1945 (hasil perubahan III, 9 November 2001), sehingga - secara keseluruhan - berbunyi (rumusan perubahan, huruf miring):

Pasal 22D
(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(2) Dewan Perwakilan Daerah dapat menyetujui atau menolak rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
(3) Jika Dewan Perwakilan Daerah menolak rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, rancangan undang-undang itu tidak dapat diajukan lagi pada masa sidang Dewan Perwakilan Rakyat berikutnya.
(4) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai : otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah.
(5) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.
Usul perubahan UUD 1945 bukan persoalan sederhana, karena berkaitan dengan ketentuan-ketentuan lain dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Jika usulan DPD tersebut diterima, maka ada beberapa ketentuan lain dalam UUD 1945 yang harus mengalami penyesuaian. Ketentuan lain dalam UUD 1945 tersebut - sekurang-kurangnya - adalah ketentuan menyangkut pembentukan undang-undang, seperti:

a. "Presiden berhak mengajukan rancangan Undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat" (Pasal 5 ayat 1);
b. "Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat" (Pasal 11 ayat 2); dan
c. "Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang" (Pasal 20 ayat 1).

Di samping itu, perubahan dalam UUD 1945 tersebut menuntut perubahan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pembentukan Undang-Undang, yaitu:

1. UU No. 22 Tahun 2003 Tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
2. UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; dan
3. Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat;
4. dengan sendirinya Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah juga harus disesuaikan.

Perubahan dan penyesuaian peraturan perundang-undangan tersebut diatas dilakukan dengan menegaskan (1) kewenangan DPD dalam proses legislasi, dan (2) "hak veto" DPD atas RUU tertentu yang telah disetujui oleh DPR.

Oleh karena, jika disetujui, usulan DPD mengenai perubahan UUD 1945 tersebut perlu ditindaklanjuti dalam peraturan perundang-undangan pelaksananya, maka relevan di sini mempertimbangkan saat yang tepat untuk melakukan perubahan UUD 1945. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan.

Pertama, sebagaimana dijelaskan di atas, usul perubahan UUD 1945 disampaikan oleh DPD periode 2004-2009. Berdasarkan masa jabatan yang akan berakhir pada 2009, usul tersebut harus dapat dilaksanakan sebelum tahun 2009 - sebelum berakhirnya masa jabatan pengusulnya. Usul tersebut disampaikan dengan surat tanggal 8 Juni 2006. Menurut Peraturan Tata Tertib MPR, yang jelasnya akan diuraikan di bawah, selambat-lambatnya sembilan puluh hari setelah diterimanya usulan, Pimpinan MPR mengadakan rapat untuk membahas usulan tersebut, dan jika Pimpinan MPR menilai usulan tersebut memenuhi persyaratan, maka Pimpinan MPR mengundang anggota MPR untuk melaksanakan Sidang MPR.

Kedua, seandainyapun usulan perubahan UUD 1945 dapat direalisasikan, perubahan atas UU No. 22 Tahun 2003, UU No. 10 Tahun 2004, Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat dan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah yang merupakan tindak lanjut perubahan UUD 1945 tersebut juga harus segera dilakukan. Dalam hal ini, jangka waktu tidak terlalu menjadi persoalan: apakah dilakukan sebelum ataukah sesudah 2009, karena perubahan hanya menyangkut kewenangan dan mekanisme - bukan menyangkut jumlah anggota yang dipilih melalui Pemilihan Umum. Kewenangan dan mekanisme ini dapat saja berubah di tengah masa jabatan, karena perubahan hanya pada peraturan pelaksanaan, sedangkan "induknya" (UUD 1945) sudah mengalami perubahan. Dengan telah dilakukannya perubahan UUD 1945, kalaupun peraturan pelaksanaannya belum diubah, dengan sendirinya tidak berlaku. Dalam peraturan perundang-undangan, hal ini biasa dituangkan dalam "Ketentuan Peralihan".

Ketiga, gagasan perubahan UUD 1945 saat ini berada dalam suasana yang berbeda dengan gagasan perubahan UUD 1945 pada tahun 1999. Pada tahun 1999, suasananya sangat kondusif untuk melakukan perubahan UUD 1945, karena hampir semua (sekurang-kurangnya sebagian besar) anggota MPR sepakat untuk melakukan perubahan UUD 1945. Kekompakan tersebut dilatarbelakangi oleh keinginan untuk melakukan perubahan akibat ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan kekuasaan di masa Orde Baru. Kini suasananya berbeda. Wacana perubahan UUD 1945 hanya diusung oleh tidak sampai separuh jumlah anggota DPR - bahkan sepertiga pun tidak!
Keempat, suasana psikologi sosial di masyarakat, di luar MPR, juga tidak mendukung. Ada kesan bahwa masyarakat luas tidak ikut "menikmati" perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan. Yang menikmatinya hanya kalangan elit. Oleh karena itu, masyarakat tidak lagi dapat diharapkan antusias mendukung perubahan UUD 1945. Apalagi, di masyarakat, hampir selalu ada kecurigaan pada gagasan yang dilontarkan oleh politisi, bahwa hal itu dimaksudkan untuk memperbesar fasilitas dan kekuasaan politiknya belaka.

Beberapa pertimbangan tersebut di atas menunjukkan bahwa gagasan untuk melakukan perubahan UUD 1945 masih sulit untuk diwujudkan dalam waktu dekat ini.

Proses Perubahan UUD 1945
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, menurut UUD 1945, selain mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, terhadap pasal-pasal UUD 1945 dapat dilakukan perubahan. Usul perubahan harus diajukan secara tertulis dengan menunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya. Usul tersebut dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Sidang MPR untuk mengubah pasal-pasal UUD 1945 tersebut harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR, dan putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD 1945 tersebut dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR.

Menurut Peraturan Tata Tertib MPR, usul perubahan pasal-pasal UUD 1945 diajukan kepada Pimpinan MPR. Pimpinan MPR melaksanakan Rapat Pimpinan MPR untuk membahas usul perubahan tersebut paling lambat sembilan puluh hari sejak diterimanya usul perubahan. Apabila Pimpinan MPR menilai usul perubahan tersebut telah memenuhi persyaratan, Pimpinan MPR mengundang anggota MPR untuk melaksanakan Sidang MPR (Pasal 78).

Menurut Pasal 75 dan Pasal 76 Peraturan Tata Tertib MPR, pembentukan putusan MPR dilakukan melalui tiga tingkat pembicaraan, yang dapat didahului dengan rapat-rapat fraksi atau kelompok anggota. Ketiga tingkat pembicaraan tersebut adalah:

a. Tingkat I: Pembahasan oleh Rapat Paripurna MPR yang didahului oleh penjelasan Pimpinan MPR dan dilanjutkan dengan Pemandangan Umum fraksi-fraksi dan kelompok anggota;
b. Tingkat II: Pembahasan oleh Panitia Ad Hoc MPR terhadap semua hasil pembicaraan Tingkat I. Hasil pembahasan pada Tingkat II ini merupakan Rancangan Putusan MPR;
c. Tingkat III: Pengambilan putusan oleh Rapat Paripurna MPR setelah mendengar laporan dari Pimpinan Panitia Ad Hoc MPR, dan bilamana perlu dengan kata akhir dari fraksi-fraksi dan kelompok anggota.

Pengambilan putusan MPR dapat dilakukan berdasarkan mufakat, dan dapat dilakukan berdasarkan suara terbanyak. Putusan berdasarkan mufakat adalah putusan yang diambil berdasarkan kebulatan pendapat yang diitikadkan bersama (Pasal 69 ayat 1). Putusan berdasarkan mufakat mensyaratkan kehadiran unsur semua fraksi dan kelompok anggota (Pasal 69 ayat 2). Hanya saja, mengenai perubahan UUD 1945, dalam Peraturan Tata Tertib MPR, tidak ditemukan pengaturannya dalam bagian tentang Putusan Berdasarkan Mufakat. Pengaturan tentang pengambilan putusan atas usul perubahan UUD 1945 ditempatkan dalam bagian tentang Putusan Berdasarkan Suara Terbanyak, yaitu dalam Pasal 71 ayat (1) huruf a, yang ketentuannya sama dengan ketentuan dalam Pasal 37 UUD 1945.

Penutup
Sebagai rangkuman atas apa yang telah diuraikan di atas: (1) perubahan UUD 1945 dapat saja dilakukan; (2) asal dilakukan secara konstitusional dan prosedural; (3) dan beberapa ketentuan dalam UUD 1945 memang perlu disempurnakan dalam rangka perbaikan sistem ketatanegaraan; (4) akan tetapi, masih banyak masalah umat, bangsa, dan negara yang lebih mendesak untuk disikapi ketimbang perubahan UUD 1945. Pikiran dan sikap arif, menuntut kita untuk mendahulukan penanganan hal-hal yang lebih mendesak daripada mengurusi masalah yang tidak cukup mendesak. Wallahu waliyyut-taufiiq.***


title="Technorati Cosmos: other blogs commenting on this post">
alt="Technorati icon" />

Muslim Mobile Media

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar

Cheria Bandung

Cheria  Bandung
Graha Internasional ( Bank of Tokyo ) Lt3 Jl. Asia Afrika No.129, Bandung 40112

Info Haji Bandung